Perempuan dalam Pusaran Politik

Kesadaran politik perempuan berdasarkan sejarah Indonesia telah tumbuh sejak Kongres Perempuan pertama di Yogyakarta 1928. Kesadaran politik dalam bentuk partisipasi nyata dan penggunaan hak-hak politik perempuan tercermin juga pada Pemilu 1955 di mana mereka memiliki hak memilih dan dipilih. Pengakuan yang sama hak-hak perempuan dengan laki-laki dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia telah diakui secara tegas. Pengakuan tersebut ditetapkan melalui berbagai instrumen hukum dan dengan meratifikasi berbagai konvensi yang menjamin hak-hak politik mereka.
Dalam sejarah perpolitikan di Indonesia dan negara berkembang pada umumnya, perempuan memang dipandang terlambat terlibat di dunia politik. Beragam stigma yang menyebut perempuan senantiasa dalam posisi domestik, dianggap sebagai salah satu hal yang mengakibatkan perempuan terlambat berkiprah di dunia politik. Padahal potensi dan modal politik kaum perempuan (termasuk di Indonesia) untuk melibatkan diri dalam dunia politik adalah besar.
Menurut Biro Pusat Statistik, jumlah perempuan Indonesia adalah sebanyak 101.628.816 orang atau sekitar 51 persen dari seluruh populasi atau lebih banyak dari total jumlah penduduk di ketiga Negara Malaysia, Singapura dan Filipina. Tapi ironisnya, jumlah perempuan yang ada pada posisi-posisi strategis untuk pengambilan keputusan amat minim. Pada setiap pemilu, jumlah perempuan yang terpilih berkisar antara 8 persen hingga 11 persen. Pendaftaran pencalonan dari masing-masing kekuatan politik bisa mencerminkan lebih dari 11 persen caleg perempuan, namun pada kenyataannya yang terpilih tidak lebih dari itu.
Sebuah penelitian yang dipimpin oleh psikolog dari University of Michigan, Sandra Tang, pada 2014 lalu menunjukkan bahwa pendidikan ibu akan memengaruhi masa depan anak. Penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan itu selanjutnya menjadi arahan dan rem kontrolnya dalam melakukan sesuatu. Tidak hanya dalam mendidik, tapi juga dalam mengambil keputusan sebagai seorang perempuan mandiri, sebagai istri yang mendampingi suami.
Pada akhirnya, berpendidikan, belajar, sejatinya adalah tentang proses berfikir dan pembentukan karakter diri dalam menghadapi kehidupan-kehidupan yang lebih panjang. Meskipun ilmu kehidupan tidak ada sekolahnya, pengalaman, pembelajaran, dan pendidikan adalah salah satu kisi-kisi kehidupan yang bisa dijadikan sebagai rambu-rambu kehidupan atau direalisasikan dalam dunia berpolitik.
Kita sering sekali menyebutkan “Ummu madrasatun ‘Ula” atau berarti “Ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya”. Tapi kita lupa, bagaimana resources dari madrasah itu sangat menentukan masa depan anak. Anak dari ibu yang berpendidikan akan melewati masa anak-anak yang begitu gemilang. Ia mendidik dengan ilmu, berdasarkan pengetahuan, dan wawasan yang ia miliki.mau di rumah jadi ibu rumah tangga, ataupun menjadi perempuan karir, gak ada yang salah. Yang salah itu kalau sudah gak mau jadi wanita karir, tetapi juga lalai dalam mengurus anak dan suami.
Berbicara mengenai politik perempuan tentu saja berbicara mengenai keterlibatan perempuan dalam proses-proses politik. Misalnya, keterlibatan perempuan dalam proses penyelenggaraan Negara, pengambilan keputusan, membuat kebijakan, serta politik perwakilan. Sayangnya, proses-proses politik tersebut belum terakomodasi dalam ranah politik perempuan sedari dulu. Kendati undang-undang sangat tegas menyebutkan keharusan keterwakilan 30 persen bagi perempuan diparlemen. Namun, dalam praktiknya, partai politik masih enggan mewujudkannya.
Tampaknya elit partai politik belum rela memberikan ruang yang adil bagi perempuan untuk berkiprah dalam kehidupan politik yang lebih luas. Memperkuat partisipasi politik perempuan di Indonesia kita harus menempatkannya di dalam konteks transisi yang tengah dialami bangsa Indonesia menuju ke sistem politik yang lebih demokratis.
Inti demokrasi adalah upaya menjamin kesetaraan politik bagi seluruh warga, tak terkecuali kelompok marjinal dan kaum minoritas. Meskipun secara demografis mayoritas penduduk Indonesia adalah perempuan, mereka tak lebih dari mayoritas bisu-kelompok besar yang termarjinalisasi secara politis, sosial, kultural dan ekonomis-yang hampir selalu absen pada proses-proses pengambilan keputusan (Seda, 2003).
Kebutuhan untuk meningkatkan representasi politik kaum perempuan di Indonesia berpangkal dari suatu kesadaran bahwa semua prioritas dan agenda politik harus dirombak, dan semua itu mustahil dapat dicapai dengan sistem politik tradisional. Jika kaum perempuan mau tampil ke depan dan memegang berbagai posisi publik, niscaya mereka akan mampu membangun dan menetapkan nilai-nilai sosial dan ekonomi baru yang sesuai dengan kepentingan mereka.
Meningkatkan representasi politik perempuan berarti juga meningkatkan keefektifan mereka dalam mempengaruhi keputusan-keputusan politik yang akan dapat menjamin hak-hak kelompok mereka dan masyarakat luas, serta mengalokasikan berbagai sumber daya yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Dengan demikian, agenda politik perempuan 2009 mestilah kembali kepada sebuah proses awal dimana upaya untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan yang bebas dari diskriminasi, subordinasi, serta marginalisasi senantiasa menjadi agenda utama.
Haruslah diyakini bahwa perjuangan dengan menggunakan UU sebagai senjata dan partai politik sebagai mesin penggerak bukanlah segalanya dalam mencapai tujuan besar, dikemudian hari hal tersebut dapat menjatuhkan perjuangan politik perempuan, serta dapat semakin menghancurkan pondasi perjuangan kaum feminisme di Indonesia. Untuk itu, pendidikan politik merupakan suatu kebutuhan yang mendasar dalam memahamkan kesadaran perempuan Indonesia akan gerak langkahnya dalam dunia politik
Partisipasi perempuan di wilayah politik perlu diupayakan dengan memaksimalkan dan memberdayakan perempuan itu sendiri, selain juga strategi komunikasi politik yang jitu, sehingga perempuan bisa maksimal berpartisipasi, termasuk mendapatkan perwakilan di legislatif yang sesuai dengan jumlah mereka di masyarakat. Keterbatasan partisipasi perempuan akan sangat memengaruhi, baik secara langsung maupun tidak langsung, terhadap upaya pengembangan masyarakat, termasuk juga pemberdayaan perempuan.
Jika tingkat partisipasi politik masyarakat termasuk di dalamnya perempuan rendah, maka ada indikasi bahwa pelaksanaan demokrasi yang dilaksanakan di suatu negara memberikan tanda yang kurang baik dan hal tersebut tentu saja akan sangat merugikan bagi bangsa dan negara.
*Tulisan ini sebelumnya dimuat di Buletin DASI Merah (Buletin IMM Misbach) Edisi 1
Editor: Isnaini Sofiana
Ilustrator : Sofyan Adi Nugroho